Ilustrasi Abu Dujanah

Samak bin Kharasyah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, yang lebih dikenal dengan gelar Abu Dujanah, adalah salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari kota Madinah. Ia termasuk di antara kaum Anshar yang pertama memeluk Islam.

Salah satu ciri khas Abu Dujanah adalah sorban merah yang selalu ia kenakan di kepalanya. Ia memakai sorban merah ini sebagai tanda semangat juang dan kesiapan untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebelum perang Uhud, Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam pernah bertanya, “Siapa yang akan mengambil pedang ini (dariku) dengan haknya?” Tidak ada yang menjawab pada awalnya. Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu kemudian maju dan bersedia, tetapi Rasulullah tidak memberikan pedang tersebut kepadanya. Beliau mengulangi pertanyaannya.

Maka, Abu Dujanah dengan tegas dan penuh semangat berdiri dan mendekati Nabi. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, saya akan mempergunakannya dengan haknya. Apakah haknya tersebut?”

Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam menjawab, “Engkau harus mengayunkannya kepada musuh sampai mereka tersungkur.”

Abu Dujanah dengan mantap berkata, “Saya akan mengambilnya dengan hak tersebut.” Maka, Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam memberikan pedang tersebut kepadanya.

Abu Dujanah, setelah menerima pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, mengikatkan sorban merahnya di kepalanya, yang merupakan tanda bahwa ia siap berjuang hingga mati di jalan Allah.

Dengan pedang beliau di tangannya, ia berjalan di depan Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam sambil mengenakan sorban merahnya.

Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam, melihat cara berjalannya, kemudian bersabda, “Cara berjalan seperti itu dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (pertempuran) seperti ini.”

Abu Dujanah kemudian berangkat untuk menghadapi musuh. Ia menunjukkan keberaniannya dalam pertempuran, dan tidak ada yang bisa menghadapinya tanpa mengalami kekalahan.

Sambil berperang, Abu Dujanah mengucapkan kata-kata berikut:

Aku adalah orang yang telah berjanji pada kekasihku

Jika kami harus mati di bawah pohon kurma

Maka aku tidak akan membiarkan waktu terbelenggu

Untuk berperang dengan pedang Allah dan Rasul-Nya

Namun, dalam perjalanan pertempuran, Abu Dujanah bertemu dengan sekelompok wanita, salah satunya adalah Hindun binti Utbah. Hindun dengan angkuhnya mengatakan, “Kami adalah anak-anak perempuan yang mulia, berjalan di atas bantal-bantal dan berbau harum. Jika engkau menyerang, kami akan merangkul. Jika kamu berpaling, kami pun akan berpaling.”

Meskipun provokasi ini membuat ia marah, ia menahan diri untuk tidak menyerang wanita tersebut. Ketika wanita itu berteriak minta tolong, tidak ada yang datang menolongnya. Karena itulah, ia memilih untuk meninggalkan mereka.

Anas bin Malik, yang saat itu bersama Abu Dujanah, bertanya mengapa ia tidak membunuh wanita tersebut. Ia menjawab dengan tulus, “Ia berteriak minta tolong, dan tidak ada yang datang menolongnya. Karena itu, aku tidak mau menggunakan pedang Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam untuk membunuh wanita yang tidak mempunyai penolong seorangpun.”

Selain peran Abu Dujanah dalam pertempuran Uhud, ia juga terlibat dalam mengamankan belakang kaum Muslimin saat perang tersebut. Meskipun ada pesan untuk menjaga bagian belakang pasukan, banyak pemanah yang turun untuk mengumpulkan harta rampasan perang setelah melihat musuh mundur. Mereka mengira kemenangan sudah di tangan. Namun, musuh kemudian menyerang dari belakang, dan ia bersama dengan sahabat lainnya berusaha melindungi Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam. Dalam proses ini, ia menerima banyak panah dan luka yang membuatnya berdarah.

Selama kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ketika terjadi pemberontakan oleh pengikut nabi palsu, Abu Dujanah juga berperang untuk mempertahankan agama Islam. Ia menunjukkan ketabahan dan keberanian di medan perang. Sama seperti Abbad bin Bisyrin, Ia berjuang melawan pasukan Musailamah al-Kadzdzab hingga mereka terdesak ke benteng terakhir.

Sesaat sebelum wafatnya, para sahabat yang hadir bertanya mengapa wajah Abu Dujanah berseri-seri. Ia menjawab dengan rendah hati, “Tidak ada perbuatan yang aku harapkan balasannya kecuali dua hal: aku tidak pernah berbicara kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, dan aku tidak pernah merasa iri atau sakit hati kepada sesama Muslim yang lain.”

Abu Dujanah akhirnya wafat pada tahun 11 Hijriyah setelah mengorbankan dirinya dalam perjuangan di jalan Allah. Semoga Allah meridhainya dan mewariskan semangatnya dalam membela agama serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Aamiin.