Ilustrasi mengqada shalat yang dilakukan dengan tayammum

Tayammum adalah salah satu bentuk rukhshah atau keringanan yang diberikan secara mutlak. Ada beberapa kondisi di mana seseorang harus mengqada’ (mengganti) shalat yang dilakukan dengan tayammum.

Apakah shalat orang yang tayammum karena musafir atau ketiadaan air perlu diganti/qada’?

Bagi orang yang mukim harus mengqada’ atau mengganti shalatnya yang telah dilakukan dengan tayammum karena ketiadaan air, sedangkan bagi musafir hal itu tidak perlu dilakukan.

Kecuali perjalanan yang ditempuh musafir tersebut adalah perjalanan yang bertujuan maksiat, seperti istri yang melarikan diri dari suaminya. Maka perjalananannya itu adalah perjalanan yang dilakukan karena maksiat. Sehingga jika demikian yang terjadi maka pelakunya harus mengqada’ atau mengganti shalatnya. Sebab, rukhshah (keringanan) tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.

Apabila seseorang bermukim di tengah gurun atau padang sahara untuk waktu yang lama dan dia selalu melakukan shalat dengan bertayammum, maka shalat orang tersebut tidak wajib diqada’. Menurut pendapat yang azhar, bila bertayammum dilakukan karena alasan dingin dan orang yang bersangkutan shalat dengan tayammumnya itu, maka dia harus mengqada’ atau menggantinya. Sebab, bertayamum karena dingin termasuk alasan yang jarang dan tidak selalu terjadi.

Apakah shalat orang yang tayammum karena sakit perlu diganti/qada’?

Gambar orang sakit yang sedang shalat. Sumber: tribun-medan.com

Bila tayammum dilakukan karena sakit yang mengakibatkan dilarangnya penggunaan air atas semua anggota tubuh atau hanya sebagian anggota tubuh saja, maka shalat orang yang bersangkutan tidak perlu diqada’, baik orang tersebut mukim atau musafir, karena sakit merupakan sebab yang umum terjadi, yang justru akan menimbulkan kesulitan lagi bila orang yang bersangkutan harus mengqada’ shalatnya itu. Allah ta’ala berfirman, 

(وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ… ٧٨)

Artinya

Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama,” (QS. al-Hajj [22]: 78).

Yang dimaksud dengan sakit di sini adalah sakit dalam pengertian umum, semisal luka atau sejenisnya.

Akan tetapi, bila luka yang diderita seseorang amatlah parah dan banyak mengalirkan darah yang tidak ma’fu (dimaafkan), dan dikhawatikan semakin parah bila berwudu dengan air, maka orang yang bersangkutan harus melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu, meski dia harus mengqada’ shalatnya itu karena darah yang banyak tidak termasuk najis yang ma’fu.

Apabila pada salah satu atau semua anggota wudhu atau tayammum terdapat kain penutup, seperti perban, maka menurut pendapat yang azhar, tidak wajib mengqada’ shalat bilamana perban itu dibalut kepada orang yang bersangkutan dalam keadaan suci. Sebab, hal seperti itu tentu lebih utama daripada mengusap khuf, dan juga karena hal itu termasuk kondisi darurat. Akan tetapi, bila ketika membalutkan kain penutup itu sedang yang bersangkutan belum bersuci, maka wajib baginya untuk melepaskan kain tersebut, asalkan tidak timbul bahaya. 

Namun bila kain penutup (perban) itu sulit dibuka, lalu permukaannya hanya diusap dan dilanjutkan dengan shalat, maka menurut pendapat yang masyhur orang yang bersangkutan harus mengqada’ shalatnya karena dirinya tidak suci ketika meletakkan kain penutup itu, dan hal demikian tidak bisa disamakan lagi dengan mengusap khuf.

Kesimpulan

Kesimpulannya, shalat harus diqada’ bila tayammum dilakukan karena alasan cuaca dingin, atau karena tidak adanya air bagi orang yang mukim, dan juga wajib qada’ shalat bagi musafir yang melakukan perjalanan bermotif maksiat.

Demikianlah artikel tentang mengqada’ shalat yang dilakukan dengan tayammum. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang fiqh.